Seperti malam-malam sebelumnya, percakapan kita lewat telepon selalu dipenuhi dengan topik-topik ringan yang seolah tak berarti, tapi entah bagaimana selalu menjadi momen berharga yang membuat hati terasa hangat.

“Nasi goreng buatanku kemarin luar biasa enak,” kataku dengan semangat.

“Iya, dari bumbu yang kamu sebutkan—saus raja rasa, saus tiram, minyak ikan, minyak wijen—pasti lezat. Tapi, aneh juga ya, aku belum pernah lihat orang bikin nasi goreng pakai minyak wijen,” jawabnya dengan rasa heran.

“Iya, itu cuma improvisasi sedikit aja, nggak banyak,” kataku sambil tersenyum.

“Eh, tapi ada yang kurang dari nasi gorengnya. Mau tau nggak apa?” tanyaku dengan senyum penuh teka-teki.

“Apa tuh?” tanyanya penasaran.

“Ya, kulit udangnya harus diblender. Tapi blenderku kurang bagus, jadi hasilnya kurang halus,” jelasku.

“Blender apa yang kamu pakai dan harganya berapa?” tanyanya lagi dengan rasa ingin tahu.

“Blender murah yang aku beli di Shopee, sekitar 90 ribuan,” jawabku.

“Hmm, padahal blender gratis,” jawabnya sambil tersenyum penuh makna.

“Hah, maksudnya gratis?” tanyaku bingung.

“Iya, Blender kan open source, gratis,” jelasnya dengan nada main-main.

Butuh sekitar 7 detik untuk mencerna maksudnya. Oh, maksudnya software Blender untuk rendering, memang benar-benar gratis.

Haha, sialan, sambil tertawa diam-diam dalam hati.

Jokes anak desain memang seperti ini, ya.